CelotehanMuslim - Iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional bagi peserta pekerja bukan penerima upah, dan sebagian pekerja penerima upah, akan naik mulai 1 April 2016. Selain untuk menekan defisit klaim pembayaran, kenaikan iuran itu juga diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan.Perubahan iuran itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itu ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 29 Februari 2016 dan diundangkan pada 1 Maret 2016.
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, Jumat (11/3), menilai, belum ada kemauan politik dari pemerintah untuk memperkuat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kenaikan iuran JKN dinilai belum mampu mengangkat tarif rumah sakit dan fasilitas kesehatan tingkat pertama secara signifikan. Akibatnya, tak akan terjadi perbaikan mutu layanan bagi peserta JKN. "Pasienlah yang tetap jadi korban," ujarnya.
Defisit tetap terjadi
Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, kenaikan iuran itu menekan defisit klaim pembayaran JKN. Namun, defisit diperkirakan tetap terjadi karena iuran baru Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih rendah dari usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional sebesar Rp 36.000 per orang per bulan.
Data Kementerian Keuangan, diperkirakan defisit BPJS Kesehatan tahun 2015 sekitar Rp 5,85 triliun.
Dalam Perpres 19/2016 disebutkan, iuran JKN bagi peserta PBI naik menjadi Rp 23.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp 19.225. Kini ada 92,4 juta peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah. Kenaikan iuran itu berlaku sejak 1 Januari 2016.
Iuran peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja juga naik. Iuran peserta kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 30.000 per orang per bulan. Iuran peserta kelas II naik dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 per orang per bulan. Lalu iuran peserta kelas I menjadi Rp 80.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp 59.500. Kenaikan iuran berlaku per 1 April 2016.
Penyesuaian iuran juga berlaku bagi peserta pekerja penerima upah (PPU). Iuran kepesertaan JKN bagi pekerja formal ialah 5 persen dari gaji yang diterima per bulan, terdiri dari 4 persen dibayar pemberi kerja dan 1 persen dibayar pekerja.
Dalam Perpres itu, batas maksimal gaji per bulan sebagai dasar perhitungan iuran peserta PPU Rp 8 juta. Artinya, sebesar apa pun gaji seseorang, iuran JKN yang harus dibayar dihitung dari nominal Rp 8 juta, bukan lagi berdasarkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Jadi, iuran maksimal Rp 400.000 per bulan untuk lima anggota keluarga.
Hal tersebut berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni batas maksimal gaji per bulan yang menjadi dasar perhitungan iuran ialah 2 x PTKP status kimpoi dengan anak satu (K1). Besaran nominal dari rumus 2 x PTKP status K1 batas atas Rp 4.725.000. Jadi, iuran maksimal sebesar Rp 236.250 per bulan bagi lima anggota keluarga.
Menurut Irfan, penyesuaian perhitungan iuran peserta PPU itu menjadi peluang mendapatkan tambahan iuran yang pasti. Apalagi, secara sistem, hal itu memudahkan perhitungan karena besaran PTKP tiap tahun berubah. Namun, diakui, banyak peserta PPU berpenghasilan kurang dari Rp 8 juta sebulan. "Prinsip gotong royong terpenuhi, yang mampu menyubsidi yang pendapatannya kurang," ujarnya.
Sejauh ini, pihaknya belum bisa menyebut penerimaan iuran yang akan diterima BPJS Kesehatan tahun ini. Perhitungan itu harus mempertimbangkan tarif RS, kapitasi, dan denda.
Lebih profesional
Menanggapi kenaikan iuran JKN, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, kemarin, mengatakan, kebijakan itu tidak berpengaruh signifikan bagi perusahaan. Namun, penaikan iuran itu sepatutnya diimbangi pemberian layanan yang memadai.
"Sebagai contoh, selama ini untuk antre mengurus administrasi saja bisa satu hari. Saat mau rawat inap, kamar tidur kerap penuh. COB (skema koordinasi manfaat) pun belum berjalan optimal," kata Hariyadi.
Sekretaris Jenderal Apindo Sanny Iskandar menambahkan, kenaikan iuran JKN seharusnya menjadikan manajemen BPJS Kesehatan lebih profesional dalam melayani peserta program itu. Profesionalitas layanan itu dari sisi fasilitas kesehatan, sistem administrasi kepesertaan, dan kinerja mutu layanan saat klaim pembayaran.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, besaran iuran baru bagi peserta PBPU tak adil dibandingkan iuran peserta PPU dan peserta PBI. Sebab, perubahan iuran itu menyebabkan mayoritas peserta mandiri harus membayar lebih tinggi dibandingkan pekerja formal dengan kelas kepesertaan lebih rendah.
Padahal, peserta mandiri yang penghasilannya tak selalu stabil seharusnya dilindungi dengan memaksimalkan iuran peserta PPU yang berpenghasilan lebih stabil. Jika itu dilakukan, penambahan kepesertaan akan diiringi mutu iuran dan prinsip gotong royong terjadi.
Iuran baru JKN juga berlaku bagi peserta yang iurannya ditanggung pemerintah daerah atau integrasi jaminan kesehatan daerah dengan JKN.
Pembatasan dasar perhitungan iuran itu, lanjut Timboel, memicu ketidakadilan. Mayoritas upah pekerja formal di Indonesia sebatas upah minimum, disusul pekerja dengan upah Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan.
Sebagai ilustrasi, iuran JKN bagi pekerja di Jakarta dengan gaji sesuai upah minimum Rp 3,1 juta sebesar Rp 155.000 per bulan bagi lima anggota keluarga atau Rp 31.000 per orang (5 persen dari Rp 3,1 juta). Dengan iuran itu, pekerja formal masuk jadi peserta kelas II. Adapun peserta mandiri dengan iuran Rp 30.000 per bulan jadi peserta kelas III. "Sedikit pekerja formal bergaji di atas Rp 8 juta," ujarnya.
Oleh karena itu, perhitungan iuran bagi pekerja formal atau PPU lebih tepat jika menurut PTKP. Saat PTKP naik, iuran pekerja formal akan naik sehingga tercipta asas gotong royong yang optimal.
sumber : kompas
0 komentar:
Posting Komentar